Penyakit Pada kuda
Penyakit kuda dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang berupa bakteri, virus dan
cendawan. Selain itu penyakit kuda juga diperantarai
oleh gigitan vektor ektoparasit. Adapun penyakit
tersebut adalah: Antraks, Aspergillosis, Blastomycosis,
Botulism, Coccidioidomycosis, Colitis, Cryptococcus,
Cushing's Disease, Eastern Equine Encephalitis (EEE),
Equine Influenza, Equine Infectious Anemia, Equine
Herpes, Equine Viral Arteritis, Foot Rot,
Histoplasmosis, kolik, Potomac Horse Fever, Rabies,
Salmonellas, Strangles tetanus (lockjaw),
Virus/Rhinopneumo, Venezuelan Equine Encephalitis
(VEE), Vesicular Stomatitis, West Nile Virus (WNV),
Western. Equine Encephalitis (WEE) dan Wet Tail.
Diantara penyakit kuda tersebut histoplasmosis yang
banyak menyerang dan ditemukan pada kuda di
66RIZA ZAINUDDIN AHMAD dan S. ANIS:
Kejadian Penyakit Selakarang pada Kuda dan Cara Pengendaliannya
Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan. Histoplasmosis
di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Selakarang
(NAHis, 2005).
Selakarang
Penyakit mikotik ini disebabkan oleh cendawan
dimorfik Histoplasma farciminosum, atau dengan
beberapa nama lain yaitu Cryptococcus farciminosum,
Equine Blastomycosis, Equine Histoplasmosis.
Umumnya menyerang bangsa kuda (JUNGERMAN dan
SCHWARTZMAN, 1972 dalam AHMAD (2005).
Etiologi
Cendawan Histoplasma farciminosum penyebab
penyakit ini adalah jenis dimorfik (Gambar 2A, B).
Dinamakan dimorfik karena cendawan tersebut dapat
berbentuk khamir (spora) pada temperatur 37°C dan
miselium pada temperatur 25 — 30°C. Selain itu
morfologi mirip dengan Histoplasma capsulatum.
Cendawan tersebut berbentuk khamir mulai dalam
wujud ovoid sampai globos dengan diameter berukuran
2 — 5 1.tm, dapat ditemukan pada ekstra-seluler dan
intra-seluler di dalam sel-sel makrofag dan sel raksasa.
Dalam bentuk miselia tumbuh dengan lambat
berbentuk arial. Koloni berwama abu-abu dan
permukaannya seperti kulit. Pada media Sabouroud
Dekstrosa Agar (SDA) menghasilkan hifa yang
pendek-pendek dan tidak teratur bentuknya. Hifa ini
mengelilingi badan cendawan yang kemudian akhimya
membentuk oval sehingga dinamakan Rudimentary
aleuriospora (Gambar 3A, B) (JUNGERMAN dan
SCHWARTZMAN, 1972 dalam AHMAD 2005). Pada
media agar darah, pertumbuhannya di medium
berwama abu-abu, tebal dan datar dengan koloni agak
rapat mempunyai segmen tipis dengan pertumbuhan
khlamidospora di ujung.
Gambar 2. Histoplasma farciminosum pewarnaan Gram (A); pewarnaan Lactojenol cotton
blue (B) perbesaran 1000 X
Patogenesis
Inkubasi mulai beberapa minggu hingga 6 bulan.
Infeksi oleh Histoplasma farciminosum dapat
berkembang ketika mikrokonidia atau fase miselia (25
— 30°C) terhirup masuk ke paru-paru dan ketika
cendawan ini masuk ke dalam tubuh yang bersuhu
37°C menjadi bentuk khamir yang patogenik. Khamir
difagositosit oleh makrofag-makrofag namun khamir
tersebut berubah menjadi parasitik dan menggunakan
makrofag sebagai tempat memperbanyak diri. Hasil
proliferasi di dalam bronkhopneumonia itu termasuk
pada lobulus-lobulus paru-paru sekunder yang tertular.
Jalur lain masuknya H. farciminosum juga lewat
perlukaan atau kulit yang terbuka karena luka lecet atau
gesekan, kemudian masuk ke peredaran darah. Bila
tubuh lemah maka akan terjadi infeksi yang
menyebabkan terjadinya penyakit. Invasi mulai dari
kulit, organisme menyebar melalui pembuluh limfe
menuju daerah limfonodul, atau masuk menembus
organ dalam, lesi bernanah dan bisul ada di dalam kulit
di sepanjang pembuluh limfe Lesi mukosal terjadi
pada mukosa nasal dan mukosa okuler. Paru-paru juga
terkena dan menimbulkan gejala pneumonia. Respon
patogenik ditandai dengan peradangan granulomatus
yang didominasi oleh sel makrofag, limfosit, sel plasma
dan sel-sel raksasa. Migrasi oleh limfosit regional dan
akibat dari dominasi hematogenous memperbanyak
parasit yang telah difagositosis makrofag melalui
sistem Reticulo Endothelial System (RES) khususnya
limpa. Di dalam kasus imuno kompeten inang spesifik,
sel T imunitas berkembang dalam 1 — 4 minggu dan
terjadi pengendalian infeksi, bersamaan dengan
kejadian ini gejala klinis spontan meningkat, involusi
dan kapsulisasi serta kejadian kalsifikasi menjadi
residu dari infeksi yang khas membentuk granuloma
(AL-ANI, 1999; GILBERT, 2005, WHEAT dan
KAUFFMAN, 2010) baik direct atau indirect, uji
aglutinasi darah, ELISA, pewarnaan Gram, H & E, PAS
dan uji hipersensitif kulit (OIE, 2004; ENDEBU dan
ROGER, 2005; KAUFFMAN, 2007). Selanjutnya AMENI
et al. (2006) mengembangkan uji histofarcin pada kulit
kuda di Ethiopia, dan DE MATOS-GUEDES et al. (2011)
mengembangkan teknik diagnosis dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR) berdasarkan dari sekuensing
nuldeotida dari M antigen.
Gejala klinis
Kuda yang terserang akan ditandai dengan ulserasi
pada kulit yang bersifat undulatif. Kerusakan jaringan
ini terjadi setelah beberapa minggu hingga 3 bulan
masa infeksi. Bisul-bisul ditemukan pada bagian kaki,
dada, leher, bibir, skrotum, mata dan kaki yang
selanjutnya ditemukan penebalan saluran limfe bagian
superficial, pembesaran nodus limfangitis regional,
pembentukan abses bercampur darah dan berakhir
dengan terbentuknya ulser pada kulit yang lebih kecilkecil yang lama kelamaan ulser akan menyatu sehingga
kulit menebal membentuk jaringan ikat.
Diagnosis
Selain gejala Minis yang nampak pada hewan
dapat dilakukan pemeriksaan langsung pada agen
penyebab penyakit melalui preparat ulas yang diwarnai
dengan pewarnaan Gram atau lactophenol cotton blue.
Pemeriksaan biakan yang diinokulasikan pada agar
medium juga dapat dilakukan, namun memerlukan
waktu yang cukup lama. Melalui uji serologis dapat
menghemat waktu diagnosis, misalnya passive
haemagglutination test, Fluorescent Antibody Test.
Differential diagnosisldiagnosis banding
Gejala klinis yang membentuk ulser mirip dengan
penyakit maleus namun pada Selakarang ini ulser
manjadi satu sedangkan ulser maleus berdiri sendirisendiri. Pada sporotrichosis produksi nanah sedikit dan
infeksi bukan pada saluran limfe Lymphangitis
ulseratif yang akut disebabkan oleh Corynebacterium
pseudotuberculosis. Agen diagnosis dapat dibedakan
dengan mudah melalui uji serologis (FAT dan
Haemagglutinasi) dan pembiakan kultur (GILBERT,
2005).
Pengendalian
Sebagaimana umumnya dengan penyakit yang
disebabkan oleh cendawan, maka pengendalian
Selakarang ini dapat dilakukan dengan pencegahan dan
pengobatan.
Pencegahan
Untuk meminimalkan kejadian penyakit
disarankan memperkenalkan penggunaan obat-obatan
untuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh
cendawan. Pencegahan selalu lebih baik dari pada
pengobatan. Pencegahan dimulai dengan
mengendalikan kantung-kantung pemeliharaan kuda
dengan lalu lintas perdagangarmya. Hewan kuda yang
diperdagangkan harus bebas Selakarang. Pemeliharaan
kuda dan peralatannya harus dilakukan dengan baik.
Penularan pada benda yang berhubungan dengan kuda
68RIZA ZAINUDDIN AHMAD dan S. ANTS: Kejadian Penyakit Selakarang pada Kuda dan Cara Pengendaliannya
Gambar 4. Gejala klinis Selakarang yang ditemukan di Sulawesi dalam bentuk kutan pada seluruh tubuh (A), pada leher (B),
pada kaki (C), dalam bentuk nasal (D), serta okuler (E)
yang sakit seharusnya dimusnahkan dengan dibakar.
Selain itu, diberi penyuluhan kepada pemilik dan
pengurus kuda tentang penyakit ini (AmENI, 2006). Hal
ini karena organisme Selakarang dapat hidup pada
lingkungan yang terinfeksi selama berbulan-bulan pada
daerah kondisi yang cocok. Pencegahan lainnya adalah
memberantas lalat sebagai vektor penyakit. Umumnya
kuda yang terinfeksi harus dieliminasi. Kuda dapat juga
disembuhkan dengan pengobatan. Sanitasi, kebersihan
dan manajemen pakan serta kandang adalah kunci
utama untuk pencegahan penyakit Selakarang. Selama
kuda sehat dengan kondisi yang baik akan terhindar
dari serangan penyakit tersebut.
Pengobatan
Pengobatan ada berbagai macam, mulai dengan
melakukan operasi dengan pembedahan pada nodulus,
bisul, ulser, lalu diobati dengan KI, atau Hgt juga
dengan suntikan HgC12, sampai dengan penggunaan
Amphotericin B, Clotrimazole, Nystatin yang juga
efektif di dalam kasus Selakarang ini (GILBERT, 2005).
Kemudian HADUSH et al. (2008) menambahkan
pengobatan dengan Sodium Iodida (Nal), Ended