Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi) beberapa waktu lalu amat menyakitkan kita. Kondisi ini merupakan cerminan rendahnya konsumsi kalori-protein pada tingkat keluarga. Sayangnya, di tengah usaha berbagai pihak mempromosikan peningkatan konsumsi protein hewani, negara ini kembali disibukkan oleh merebaknya flu burung yang telah berdampak pada turunnya konsumsi daging dan telur.
Meskipun disadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer, namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari.
Konsumsi telur di Indonesia juga rendah, 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Filipina 6,2 kg. Bila satu kg rata-rata 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur per hari. Padahal penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur per hari. Konsumsi susu masyarakat Indonesia juga sangat rendah, sekitar 7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20 kg/kapita/tahun.
Konsumsi madu masyarakat Indonesia hanya 15 gram/kapita/tahun, sedangkan masyarakat di negara maju, seperti Jepang, Perancis, Inggris dan AS konsumsi madunya mencapai 1500 gram/kapita/tahun. Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani 6 gram/kapita/hari belum tercapai.
Padahal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani yang ideal 26 gram/kapita/hari. Analisis paling akhir oleh Prof. I.K Han (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik brutto (PDB) negara tersebut.
Korea, Brazil, Cina, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari: Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun. Rendahnya konsumsi protein hewani berdampak pada tingkat kecerdasan dan kualitas hidup penduduk Indonesia.
Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun 2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP) Indonesia berada pada peringkat ke-111, satu tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Filipina (83).
Konsumsi protein hewani yang rendah banyak terjadi pada anak usia bawah lima tahun (balita), terlihat pada merebaknya kasus busung lapar dan malnutrisi beberapa waktu lalu. Rendahnya asupan kalori-protein pada anak balita menyebabkan meningkatnya kasus malnutrisi dan rendahnya tingkat kecerdasan. Usia balita disebut juga periode “the golden age†dimana sel-sel otak anak manusia sedang berkembang pesat. Pada fase ini otak membutuhkan suplai protein hewani yang cukup agar berkembang optimal dan tidak sampai menjadi tulalit.
Asupan kalori-protein yang rendah pada anak balita berpotensi menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya risiko terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performa mereka di sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa. Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan tingkat konsumsi protein hewani pada anak usia pra-sekolah dengan kejadian defisiensi mental. Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras.