Hubungan antara manusia dengan kuda sudah dikenal sejak zaman purba, seperti kita dapat melihat dari kesenian dan sastra yang berasal dari negeri Ukraine, China, Mesir, Persia dan Yunani kuno.
Manusia purba memburu kuda dan menyantap dagingnya. Walaupun sulit untuk menentukan secara pasti mengenai siapa yang pertama kali menjinakkan kuda dan melatihnya untuk ditunggang, penemuan ilmiah menunjukkan bahwa manusia telah menunggang kuda sejak kurang lebih 5.000 tahun yang lalu. Suku Yunani dan Romawi kuno merupakan ahli tunggang dan menggunakan kuda untuk pacuan dan olahraga.
Tentara Yunani dan Romawi menunggang kuda dalam perang, dan suku Yunani (Xenophon) menulis tentang prinsip-prinsip berkuda sedini 400 S.M. Hingga kini prinsip-prinsip mereka masih digunakan untuk berkuda. Pada zaman Renaissance, banyak bangsawan mendatangi sekolah menunggang besar di Eropa untuk belajar seni tunggang.
Akademi berkuda pertama didirikan oleh Federico Grisone 1532 di Napoli, Itali, kemudian pada akhir abad 16 sebuah akademi equestrian berkembang di Versailles, Perancis, tetapi kemudian menghilang karena revolusi Perancis. Sebuah sekolah menunggang “kuno” yang bertahan hingga kini adalah Spanish Riding School yang didirikan 1572 di Wina, Austria.
Sekolah kavaleri Perancis yang didirikan 1768 di Saumur, dengan pakar Pluvinel dan La Guérinière, juga memberikan kontribusi besar kepada seni equestrian modern, terutama Dressage/ Tunggang Serasi. Olahraga berkuda yang kita kenal di zaman sekarang, berkembang pada bagian kedua abad 19.
Di Indonesia peranan kuda sampai meningkat untuk keperluan olahraga, tidak banyak berbeda dengan negara-negara lain. Awalnya peranan kuda di Indonesia lebih dekat dengan masyarakat petani, dari pada keluarga Raja. Dahulunya oleh para petani, kuda disamping untuk keperluan angkutan, juga untuk menarik bajak di sawah, disamping kerbau di beberapa daerah.
Sedang cikal bakal olahraga ketangkasan berkuda di Indonesia berawal dari menunggang kuda sambil berburu di hutan-hutan. Kesenangan berburu dengan menunggang kuda ini masih banyak ditemukan di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur. Di pulau Jawa, kuda di abad 16 sebelumnya menjadi simbol kemegahan para Raja dan dipergunakan untuk peperangan, yang pada gilirannya dijadikan untuk olahraga sebagai tontonan.
Pada zaman Belanda, olahraga berkuda dikenal rakyat melalui pacuan kuda, yang dilakukan pada hari-hari pasar atau ulang tahun Ratu Belanda. Hampir setiap daerah menjadi pusat kegiatan pacuan kuda, dan dari situlah tumbuh peternakan tradisional, yang melahirkan kuda-kuda pacu lokal, yang dikenal dengan kuda Batak, kuda Padang Mangatas, kuda Priangan, kuda Sumba, kuda Minahasa dan kuda Sandel.
Daerah-daerah yang dikenal mempunyai ternak-ternak kuda tradisional adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Lomba ketangkasan berkuda mulai dikenal melalui serdadu-serdadu Belanda dengan lomba lompat rintangan (Jumping). Salah satu pusat kavaleri berkuda waktu itu terletak di kota Cimahi, 10 km dari Bandung ke arah barat.